Mengenai Saya

Foto saya
porsea, sumut, Indonesia
Andos Agustinus sinaga lahir di porsea pada tanggal 11 desember 1993

Pemuda dan Masa Depan Pertanian di DESA


Kata banyak orang bijak, pemuda adalah generasi penerus. Penerus untuk urusan apapun. Penerus keturunan, penerus sejarah dan tentunya adalah penerus bangsa. Sudah menjadi hal yang umum bila kemudian pemuda diharapkan bisa mengambil peran cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan. Karena kepada mereka ini hitam putih masa depan kehidupan akan diserahkan. Tidak terkecuali tentunya masa depan pertanian di wilayah pedesaan. Tapi, benarkah masa depan pertanian ada di tangan generasi muda? Pertanyaan ini perlu direnungkan lebih jauh dan dalam sebelum kita melontarkan jawaban.
Masa depan adalah sesuatu yang masih berupa tanda tanya. Akan tetapi, kendati masih tanda tanya, semua orang pasti berharap hal yang menyenangkanlah yang akan terjadi. Bila ada yang berani mengharapkan hal yang tidak menyenangkan bagi masa depan hidup, tingkat kewarasan orang tersebut pantas untuk dipertanyakan. Lantas apakah kehidupan pertanian di desa bagi banyak orang, terutama generasi mudanya, merupakan hal menyenangkan? Berani bertaruh, semua anak muda tidak akan berani menjawab ya! Mungkin saat ini sudah tidak ada kaum muda di pedesaan yang bercita-cita menjadi petani. Mungkin kalau masih ada malah akan menjadi bahan tertawaan temen-temennya pun keluarganya sendiri. Jadi bukan salah para pemuda bila dalam bayangan hidupnya akan masa depan, jauh dari lumpur di sawah. Karena secara harfiah lumpur dan sawah identik dengan kotor dan perlu tenaga ekstra tapi hasilnya minimal.
Menjauhnya sawah dan kehidupan petani dari bayangan ideal kaum muda tidak terjadi dengan sendirinya. Ada banyak hal yang menciptakan kondisi tersebut. Namun dari semua hal tersebut, faktor kebijakan negara yang tidak menempatkan pertanian sebagai sumber penghidupan yang harus dikembangkan bagi ujung tombak mencapai pertumbuhan ekonomi sebagai hal yang dominan. Dampak dari tidak diprioritaskan dunia pertanian bagi pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi negara menjadikan pertanian terabaikan secara sosial maupun politis dimata pengelola negara. Pemerintahan Orde Baru secara tegas lebih memilih pengembangan industri dengan harapan pertumbuhan perindustrian akan menyerap tenaga kerja secara massal dan menghasilkan laba devisa yang lebih banyak. Pertanian yang secara tradisional sebenarnya terbukti mampu menghidupi bahkan memperkaya pemerintahan jaman kolonial Belanda diabaikan karena dianggap tidak padat modal pun padat karya. Hegemoni negara mengakibatkan dunia pertanian menjadi tidak populer walaupun profesi tersebut secara tradisional telah dijalankan oleh mayoritas penduduk negeri ini.
Negara, melalui dunia pendidikan dan media informasi mengajarkan para penduduknya untuk bercita-cita setinggi mungkin. Dan bayangan cita-cita yang tinggi adalah menjadi sosok, pengusaha, pegawai, insinyur, dokter, PNS, tentara, polisi dan profesi lain yang bisa menimbulkan rasa bangga. Bangku sekolah memberikan gambaran ideal bagi tujuan pendidikan adalah menciptakan generasi yang berhasil. Berhasil dimata mayoritas anggota masyarakat adalah berkecukupan secara materi. Untuk berkecukupan secara materi rasanya tidak mungkin bisa diwujudkan dengan menjadi seorang petani. Wajar bila kemudian desa dan ladang pertanian ditinggalkan mereka yang lebih memilih pabrik-pabrik besar maupun jenis pekerjaan yang berpotensi menghasilkan uang yang jauh lebih besar.
Negara menciptakan ruang bagi pertumbuhan ekonomi melulu hanya di daerah perkotaan. Sumber penghidupan yang sanggup memberikan penghasilan besar senantiasa berada di kota-kota besar. Pemuda yang sanggup membangun jati dirinya sebagai sosok yang bisa bersaing memperebutkan peluang usaha tidak akan berani mengambil resiko kembali ke desanya. Terlalu sempit ruang di desa buat mereka yang sudah tercerahkan oleh level pendidikan yang tinggi. Negara gagal membuat kesempatan berusaha dan bekerja merata di pelosok negeri. Terlalu sempit ruang untuk berkembang bagi generasi muda terdidik yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Tidak ada gambaran yang menyenangkan tentang kehidupan petani. Yang ada adalah cerita buram tentang nasib yang senantiasa tidak pernah memihaknya. Jangankan nasib, negara yang semestinya bertanggungjawab terhadap kehidupan mereka pun tidak mau bersahabat. Maka tidak heran bila tidak ada gambaran yang gagah tentang kehidupan seorang petani.
Lantas apa yang diharapkan dari kehidupan petani bagi generasi muda? Tidak ada. Karena negara yang semestinya mengatur regulasi bagi terciptanya dinamika kehidupan masyarakatnya yang lebih baik tidak menjadikan nasib petani sebagai prioritas untuk diperhatikan. Sehingga menjadi petani tidak memberikan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Apalagi bila generasi muda tersebut hidup di wilayah Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, dimana lahan pertanian yang tersedia sangat sempit dibandingkan jumlah penduduknya. Mayoritas masyarakatnya yang hidup sebagai petani hanya memiliki lahan terbatas, rata-rata 1000 m2. Dengan kisaran lahan petanian seluas itu maka dengan teknologi semodern apapun petani tidak akan bisa mengangkat hidupnya dari kelas warga miskin. Hal itu masih ditambah dengan tiadanya proteksi negara terhadap kehidupan para petani. Para petani dibiarkan bertarung sendiri menghadapi dinamika pasar global. Lengkap sudah penderitaan petani di negeri ini. Dan akan semakin jauh bayangan kehidupan petani bagi cita-cita generasi muda.
Lantas siapa yang kemudian akan meneruskan kehidupan bertani bagi masyarakat desa? Memang akan selalu ada segelintir orang yang kemudian tetap meneruskan profesi sebagai petani. Namun yang segelintir ini biasanya adalah mereka yang tercecer oleh karena nasib yang kurang baik. Yang segelintir ini adalah mereka yang pasrah oleh nasib yang tidak memberikannya pilihan lain yang lebih baik. Sehingga wujud dari kepasrahannya akan nasib adalah dengan meneruskan kehidupan pendahulunya menjadi petani.
Petani bukanlah profesi yang dicita-citakan siapapun. Menjadi petani seolah adalah kutukan nasib buruk. Seburuk wajah-wajah manis generasi muda yang dilumuri lumpur dari sawah. Sehingga sudah jamak bila tidak ada generasi muda yang menginginkan dirinya menjadi petani, kecuali nasib yang dengan paksa sudah melemparkannya ke sawah. Apa jadinya bila profesi petani dilanjutkan oleh orang-orang yang terpinggirkan nasib? Apa jadinya bila keterpaksaan menjalani profesi tidak diproteksi oleh kebijakan pemerintah? Lantas akan dikemanakan kehidupan petani di pedesaan kelak?